Sabtu, 31 Januari 2015

Cinta dalam Bayangan



Kututup diary usangku, si cokelat tua yang setia. Kunamai dia Devandra, nama yang mungkin tak pernah ada di dunia ini. Nama yang selalu ada di setiap lembar catatan harianku. Nama yang selalu kuukir pada setiap pena kesayanganku. Nama yang telah menemaniku sejak lima tahun yang lalu.



Dev, wajahmu terkadang jelas dalam benakku, tapi di saat yang lain wajah itu tiba-tiba kabur, seolah tertutup kabut putih yang membelenggu dalam otak ini. Tubuhmu seolah menjelma menjadi udara yang tak bernyawa, tapi aku menarikmu kembali lewat udara yang kuhirup. Aku berusaha menggenggam nyawamu sekuat mungkin agar kau tidak pergi.Dev, aku ingin kau selalu ada di dekatku meski hanya menjadi sebuah bayangan, aku ingin kau selalu ada dalam setiap hembusan nafasku, dekaat sekali, sedekat urat nadi. Aku mohon berjanjilah.., karena hanya kamulah yang bisa membuat setiap detik hidupku berisi senyuman.



“Iya Firiyal, aku janji tak akan pernah meninggalkanmu.”



Suara itu terdengar halus dalam bayanganku. Aku tersenyum. Wajah itu kembali mendekatiku. Sosok yang memiliki paras tampan, matanya hitam legam, bulu matanya lentik, tubuhnya jangkung kekar, juga kulit sawo matang yang semakin menyempurnakan kelelakiannya.



“Firiyal, besok kamu wisuda. Akhirnya kamu sudah dewasa, sayang. Bertahun-tahun aku menunggumu dalam diam. Menjadi seseorang yang hanya mengagumimu dari jauh, yang hanya bisa menitipkan salam rinduku pada angin yang berhembus di setiap malamnya. Aku janji akan datang menemuimu setelah kau siap menerimaku, dan setelah kau pantas menerimaku.”



“Aku siap menerimamu kapan pun, …”



Sontak aku terkaget! Bagaimana mungkin aku menjawabnya? Sungguh aku tak sengaja meski aku dalam keadaan sadar. Aku merasa ada ruh yang telah membantuku menjawabnya. Tapi aku heran, kenapa bayanganku berkata seperti itu? Padahal fikiranku tak menyuruhnya?



Tiba-tiba aku teringat enam tahun yang lalu ketika bayangan itu mulai muncul. Saat itu aku kelas dua SMA. Aku senang sekali melukis. Suatu hari ketika hidupku sedang diambang kesulitan dia tiba-tiba muncul dalam lukisanku. Saat itu aku sedang membayangkan kejadian beberapa tahun setelah ayah pergi dengan selingkuhannya. Mama mulai tergoda dengan lelaki-lelaki yang haus dengan harta, abangku masuk penjara karena ketahuan menghisap barang haram, serta Farel yang tiba-tiba memutuskan hubungannya denganku tanpa alasan. Sejak saat itulah aku benci semua lelaki. Kurasa semua lelaki di dunia ini adalah malapetaka, terutama dalam hidupku.



                Selama cerita-cerita pahit itu terus mengalir dalam bayanganku, tanganku sibuk mengendalikan kuas yang kupegang yang akhirnya kuas itu membentuk sebuah wajah indah, wajah yang belum pernah kutemui dalam dunia nyata. Aku benar-benar tak sengaja membuatnya, entah komando dari siapa tanganku bisa membuat wajah seindah itu. Aku terus menatapnya. Hanya wajah lelaki itu yang bisa membuatku tenang. Setiap kali ketika  aku merasakan pesimis akan hidup aku selalu menemui lukisan itu. Aku menceritakan semua yang kualami padanya, kutatap matanya, saat itu aku merasa dia benar-benar nyata, tiba-tiba dia memberi energi padaku,seolah ada suara yang berkata, “Firyal, kamu tau nggak, kenapa tuhan menciptakan masalah?” Tanpa sadar aku menggeleng. “Karena tuhan ingin hambanya memiliki kekuatan.” Dahiku mengkerut. Aku tak mengerti maksudnya. Tapi nyawa itu tiba-tiba menghilang. Berhari-hari aku mencari tahu maksud dari kata-kata itu. Tapi akhirnya aku menemukan sendiri jawabannya. Masalah memang diciptakan untuk kekuatan bukan kematian. Bertahun-tahun aku hidup bagai manusia tak bernyawa. Dalam waktu yang cukup lama aku tak memiliki semangat. Aku menggantungkan hidupku pada keadaan. Waktulah yang mengatur hidupku, bukan aku sendiri.



                Saat itu aku tersadar, ternyata aku mati karena masalah. Aku hanya berontak tiap kali masalah datang. Aku hanya mengeluh dan menangis. Aku benci hidup, aku menganggap hidup adalah musuh.



Padahal setelah aku mau berfikir, akhirnya aku tau bahwa dalam setiap masalah selalu ada intan, dan intan itulah yang menjadikan kita bertambah dewasa serta semakin kuat memerangi setiap rintangan. Kini aku selalu ingat bahwa jika kita tidak mampu menangkap hikmah dari setiap kejadian, bukan berarti hikmah itu tidak ada, tapi itu karena kita sendiri yang terlalu bodoh untuk bisa menangkap hikmah.



                                                                                                ***



                Jam beker monyet kesayanganku berteriak keras memanggilku. Aku mengeluh habis-habisan, bagaimana tidak, mimpi indahku terpotong padahal endingnya hanya sedikit lagi, mungkin tinggal menghitung detik saja. Dengan penuh penyesalan aku mematikan jam beker monyet itu, berusaha meneruskan mimpi indahku, tapi tetap saja, khayalan itu tak seindah yang kuharapkan. Aku bergegas bangun dan melipat selimutku yang bergambar monyet pula. Kamarku memang dipenuhi dengan benda-benda bernuansa monyet. Orang-orang mungkin aneh melihat diriku yang terobsesi monyet, binatang yang tidak disukai kebanyakan manusia, tapi aku memandang monyet dari sisi lain, semua binatang di dunia ini punya keistimewaan tersendiri, termasuk monyet, karena tak ada sesuatu apapun yang diciptakan tuhan dengan sia-sia.



                                                                                                ***



                Aku menutup pintu kamar, sejenak aku menatap ruang keluarga, bayang-bayang masa laluku tergambar jelas, dulu tempat ini begitu berwarna, senyuman-senyuman indah menghiasi ruangan ini. Kini  papah dan abangku entah dimana, mama juga tak peduli dengan wisudaku hari ini. Lagi-lagi aku mengeluh, tapi apa daya, tak ada yang bisa kulakukan.



                “Kamu jangan pasrah dengan keadaan dong, Firiyal!!”



                Suara itu??



                “Kalo kamu diam, semua akan tetap seperti ini!!”



                ….? Dimana kamu??



                Bayangan itu tiba-tiba menghilang. Kutatap sebuah pigura,  dulu ditengahya terlukis wajah … . Tapi kini lukisan itu menghilang entah kemana, yang kutau, lukisan itu sudah menjelma menjadi sosok bayangan yang misterius, bayangan yang tak setia karena terkadang dia pergi. Dia datang ketika aku membutuhkan pencerahan, tapi dia pergi sebelum menjelaskan perkataanya. Dia memaksaku menyimpulkan sendiri.



                “Firiyal..aku menunggumu..”



                Maksudnya??



                Bayangan itu pergi lagi. Aku hanya menghela nafas. Baiklah, tak usah difikirkan. Langkah kakiku bergegas menuju pintu. Kulihat mobil di depan rumahku, mobil siapa itu? Mungkinkah mama punya cowok baru lagi??



                Seseorang keluar dari mobil itu dan berjalan ke arahku. Tubuhnya jangkung kekar, matanya hitam legam, bulu matanya sedikit lentik, kulitnya sawo matang. Lelaki itu..sepertinya aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Seolah ia datang setiap hari untuk menemuiku. Lelaki itu mirip sekali dengan seseorang dalam bayanganku.



                “Kamu Firiyal kan?”



                Lelaki itu, suaranya  mirip sekali dengan suara …



                “Hey, kamu melamun?” Tanya lelaki itu lagi.



                Aku tidak bisa mengeluarkan suara. Bahkan untuk bernafas pun rasanya sulit sekali.        “Hallo..kamu cewek yang bernama Firyal itu kan?”



                “Kamu benar-benar sedang menungguku?” tanyaku.



                “Iya. Kok tau?”



                “Bukannya tadi kamu yang ngasih tau aku?”



                “Kapan aku ngasih tau? Aku kan baru kenal kamu sekarang?”



                “Loh, bukannya kita udah kenal sejak enam tahun yang lalu?? Nama kamu Devandra kan?



                “Iya, ko kamu tau nama aku?”



                “Kamu kan cinta dalam bayanganku. Kamu lupa ya?”



                “Apa?? Kamu waras nggak sih? Aku itu anak Pak Purwoto, anak dosen kamu! Papah nyuruh aku jemput kam, dan ini adalah kali pertama aku liat kamu. Suer..”



                “Hahh??”



                Bayangan itu benar-benar nyata?? Dia benar-benar ada dan pernah dilahirkan di dunia ini?? Sungguh tidak masuk akal!

AA

ANDREO

Namanya Bintang Andreo Putra. Cowok keren, pinter, peduli banget sama yang namanya cewek. Tapi sayang, sepertinya dia terlahir untuk disakiti cewek. Dua bulan yang lalu baru putus gara-gara ceweknya selingkuh. Sekarang lagi nyari pengganti yang bisa bener-bener sayang sama dia.

 

ARINDRA

Namanya Bintang Arindra Putri. Cewek anggun, baik, setia sama cowok. Tapi sayang, nggak pernah ada cowok yang bener-bener sayang sama dia. Lima tahun nggak bisa move on dari mantannya. Tahun ini, tepat tahun ke enam akhirnya perasaan itu sudah mulai memudar. Selakarang lagi butuh seseorang yang bisa ngeyakinin Arindra kalo dia bener-bener udah move on dari mantannya.

 

ANDREO

Pagi itu bel masuk belum berbunyi. Dia sengaja nongkrong di depan kelas, kali aja ada seseorang yang nyantol di hatinya. Pagi itu suasana memang lagi cerah, para siswa dengan asik berjalan menuju kelasnya masing-masing. Andre senyum-senyum sendiri. “Cewek itu..”, katanya dalam hati. “Gue udah kenal dia lima tahun, kenapa gue nggak pernah kepikiran buat deketin dia, ya?” pikirnya lagi. Andre buru-buru masuk kelas, mencari orang yang kira-kira tahu nomor handphone tuh cewek.

 

ANDREO DAN ARINDRA

Sore itu hujan cukup deras. Tapi itu tak membuat suasana hati Arindra menjadi kelam, malah sebaliknya, dia senang sekali, suasana seperti itu membuatnya semakin mudah mencurahkan segala inspirasinya dalam sebuah tulisan. Beberapa detik kemudian tiba-tiba ponselnya berbunyi.

“Eh Rin, kelas kamu udah ulangan fisika belum?”

Arindra mengerutkan dahi. Ada angin apa si Andre tiba-tiba nge sms?

“Udah, ndre.”

Ini cewek jutek atau gimana, ya? Pikir Andre. Tapi Andre nggak mau nyerah. Dia nyoba nanya sekali lagi.

“Gampang nggak ulangannya?”

“Biasa aja.”

Andre menatap datar sms balasan itu. Ah udahlah, nggak mau gue sama cewek yang nggak pasti kaya gitu. Dia kembali menaruh ponselnya di laci. 

 

ANDREO

Siang itu lagi istirahat. Para siswa bergegas menuju mesjid sekolah untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Arindra berjalan tepat di depan Andre.

“Gimana, Ndre. Lo direspon nggak sama tuh cewek?” tanya Bagas antusias.

“Males ah, gas. Dia kayanya nggak ada niat sama sekali sama gue.”

“Ya iyalah, ndre. Kalian kan belum deket, wajar aja kalo dia ngga ada hati.”

“Tapi gue gengsi buat deketin dia. Gue yakin responnya bakal datar lagi.”

“Ah payah, lo. Belum apa-apa udah nyerah gitu.”

“Ya abis mau gimana lagi, bukan jodohnya kali.”

“Jadi sekarang mau gimana? Lo mau nyerah beneran?”

“Iya, gas. Lagian kayanya gue lagi ditakdirin buat sendiri dulu.”

“Yah kacau. Ya udahlah terserah lo aja. Tapi lo jangan nyesel kalo tiba-tiba si Arin keburu sama yang lain.”

Andre tak menjawab. “Ah, entahlah..”, desahnya dalam hati.

 

ARINDRA

Siang itu Arindra lagi duduk di salah satu kursi koridor kelas. Istirahat kali ini Arindra lagi malas melakukan apa pun selain duduk sendiri, berharap tak ada yang mengganggunya. Tapi cowok keren yang sedang berjalan dari kelas sebelah tiba-tiba membuyarkan lamunannya. “Cowok itu, kenapa aku baru nyadar yah kalo di keren. Orangnya pinter, baik lagi.”  Arindra mendadak jadi salah tingkah ketika cowok itu mendekat. “Sapa nggak yah?” Arindra sibuk berpikir. Kalo dia harus nyapa cowok itu dia nggak berani, “Gengsi banget,” pikirnya. Tapi kalo dia nggak nyapa, kesempatannya buat lebih mengenal cowok itu kayanya bisa hilang. Arindra kembali berpikir. Akhirnya dia memutuskan buat nyapa cowok itu, “Gila, cowok itu keliatannya dingin banget. Mana berani aku nyapa dia duluan? Nanti bisa-bisa responnya jelek.” Arindra pura-pura memainkan ponselnya, seolah ia tak peduli dengan keberadaan cowok itu.

 

ANDREO

Siang itu Andreo melihat Arindra sedang duduk di koridor kelas. Dia penasaran banget sama tuh cewek. Tapi sedikitpun tak ada keberanian dalam dirinya untuk menyapa Arindra. “Kayanya gue harus pura-pura lewat deh, moga aja dia nyapa duluan”.

Dengan wajah sok dingin Andreo berjalan ke arah Arindra. Arindra tampak memperhatikannya. Andreo mendadak salting saat itu juga. Baru kali ini dia kaya gitu, nyari perhatian ke cewek, padahal selama ini dia adalah sosok yang cuek, persis sperti wajahnya yang memang  terlihat dingin.

“Tuhan, kalo hamba jodoh sama Arindra, tolong beri hamba petunjuk saat ini juga, kalo hamba jodoh sama Arindra, berarti sekarang dia bakal nyapa hamba.”  Andreo terus berdoa dalam hati. Kini jaraknya dengan Arindra tinggal beberapa meter lagi, tapi kenapa cewek itu malah asik memainkan ponselnya, ya? “Tenang aja, ndre. Gue kan belum lewat tepat di depannya.”  Andre membesarkan hatinya. Entahlah, Andre merasa yakin sekali kalo Arindra akan menyapanya. Beberapa detik kemudian tepatlah Andre lewat di depan Arindra, tapi sayang, cewek itu masih asik memainkan ponselnya. Ah, itu benar-benar membuat Andre kecewa, amat kecewa. Mulai sejak itulah Andre menghapus semua harapannya terhadap Arindra. Mungkin mereka memang tidakk ditakdirkan untuk bersama.

Untuk ukuran anak kelas tiga SMA rasa malu itu memang terlihat aneh. Begitupun yang dirasakan Andreo dan Arindra. Segengsi apa pun seorang Andreo, tapi untuk hal mendekati cewek biasanya dia cukup ahli, tapi tidak untuk kali ini. Sepemalu apa pun Arindra, tapi untuk hal menyapa orang dia cukup ahli, bahkan Arindra cukup dikenal dengan keramahan yang ia miliki, tapi tidak untuk kali ini.

 

ANDREO & ARINDRA

Beberapa bulan berlalu. Malam itu mungkin merupakan kebersamaan terakhir untuk para siswa  kelas tiga SMA Bhakti Kencana. Dan sampai malam itu juga tak pernah ada kata yang terucap antara Andreo dan Arindra. Andreo masih belum punya keberanian untuk mendekati Arindra. Andreo merasa dirinya tak memiliki apa pun yang bisa ia banggakan dihadapan Arindra. Padahal semua orang tahu kalo Andreo bukan lelaki biasa. Begitupun dengan Arindra. Arindra merasa dirinya tak pantas untuk Andreo, ia tak secantik pacar-pacar Andreo yang dulu.

Tapi malam itu, saat Andreo sedang duduk sendiri di pojok ruangan, Arindra mencoba memberanikan diri untuk menyapa Andreo. Arindra takut tak ada kesempatan lagi untuk bisa berbincang-bincang dengan Andreo.

“Hay, ndre.”

“Eh, rin, apa kabar?”

“Kabar baik. Eh, ndre, kayanya udah lama, ya, kita nggak ngobrol?”

“Iya, rin. Kayanya udah lamaaaa banget.”

“Padahal kita udah kenal enam tahun, tapi kenapa belum terlalu saling mengenal, ya? Haha”

“Yaa bisa jadi karena dunia kita berbeda, rin.”

“Maksudnya kamu bukan dari kalangan manusia gitu?Haha”

“Ga gitu juga sih, rin. Maksud gue mungkin karena dari dulu lo cuma deket sama anak-anak musik, makannya mantan-mantan lo juga anak musik semua kan? Sedangkan gue deketnya sama anak-anak grafity, jadi mantan-mantan gue juga anak grafity semua. Jadi di antara kita ga sempet saling lirik gitu deh, makannya kita nggak pernah akrab.”

“Iya sih, ndre, bener juga.”

Andreo dan Arindra akhirnya keasyikan ngobrol sampai acara perpisahan itu selesai. “Gue kira obrolan dia ga bakal nyambung sama gue, tau nya nyambung-nyambung aja tuh.” Ujar Andreo dalam hati.”Aku kira Andreo bukan tipe cowok yang asyik, tau nya asyik-asyik aja tuh.” Ujar Arindra dalam hati. Malam itu adalah malam yang benar-benar berkesan bagi keduanya. Tapi sayang, mungkin tuhan punya rencana lain. Malam itu ternyata adalah malam terakhir bagi keduanya untuk bisa saling bertatap muka. Andreo dikirim ayahnya ke Jepang untuk melanjutkan kuliah, sedangkan Arindra tetap kuliah di Indonesia.

 

ANDREO

27 Juni 2014. Andreo terus menatap tanggal itu di kalendernya. Malam ketika dia merasa begitu dekat dengan Arindra. Malam ketika keduanya saling berbagi cerita tentang mimpi dan cita-citanya masing -masing. Tepatnya malam terakhir Andreo bisa melihat wajah manis Arindra. Sekarang dia sudah kembali ke Indonesia. Bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Bakatnya membuat grafity dan melukis juga masih tersalurkan.Andreo bertekad untuk memajukan Indonesia lewat keahliannya, persis seperti yang disarankan Arindra malam itu. Kini Andreo benar-benar merindukan Arindra. Di mana wanita itu? Apa dia sudah menikah?Atau bahkan sudah memiliki anak?Ah entahlah, yang penting Andreo akan terus berusaha mencari Arindra sampai dia bisa menemukannya.

 

ARINDRA

27 Juni 2014. Arindra terus menatap tanggal itu di kalendernya. Malam ketika dia merasa begitu dekat dengan Andreo. Malam ketika keduanya saling berbagi cerita tentang mimpi dan cita-citanya masing-masing. Tepatnya malam terakhir Arindra bisa melihat wajah tampan Andreo. Sekarang Arindra masih tinggal di Jakarta. Menjadi seorang psikolog dan memiliki sebuah sekolah dengan sistem terbaik se-Indonesia.Bakatnya menulis dan menyanyi juga masih tersalurkan.Arindra bertekad memajukan Indonesia lewat keahliannya, persis seperti yang disarankan Andreo malam itu. Kini Arindra benar-benar merindukan Andreo. Di mana laki-laki itu sekarang? Apa dia sudah memiliki wanita lain di Jepang sana? Atau bahkan dia sudah menikah? Ah entahlah, ia hanya bisa berharap tuhan mau berbaik hati untuk mempersatukannya dengan Andreo.

 

ANDREO

20 April 2020. Hari itu Andreo sedang tidak bekerja,ia berniat mengajak adik perempuannya mengunjungi sebuah pameran lukisan. Ketika sedang menunggu adiknya di ruang keluarga, tak sengaja ia melihat sebuah novel. Best seller. Karya Bintang Arindra Putri. Andreo terus menatap novel itu, ia membukanya, lalu membaca halaman demi halaman, isinya tentang seorang perempuan yang jatuh cinta ketika perpisahan sebentar lagi akan datang. Cinta itu tak pernah terucap. Tapi selama berpisah, perempuan itu tak pernah berpindah ke lain hati, ia selalu menunggu dengan setia karena ia yakin suatu saat nanti orang yang dicintainya akan kembali.

 

ARINDRA

20 April 2020. Hari itu Arindra membawa bebearapa siswanya mengunjungi sebuah pameran lukisan. Ia berharap siswanya bisa belajar dari pelukis-pelukis hebat itu. Arindra menatap sebuah lukisan yang paling disukainya, andai saja Andreo ada di sini, pasti ia juga akan menyukai lukisan itu, pikirnya dalam hati. Ia kembali melihat lukisan itu lagi, dan..tanda tangan itu?? Sepertinya ia mengenali tanda tangan itu! Arindra mengingat-ngingat siapa pemilik tanda tangan itu. Tapi tiba-tiba saja seseorang di sampingnya memberi tahu Arindra siapa pemilik tanda tangan itu.

“Tanda tangan itu milik gue, rin.”

Arindra segera melihat lelaki itu, lelaki itu tersenyum, Arindra benar-benar tak percaya. Benarkah itu Andreo?

Rabu, 31 Desember 2014

2015



16 menit yang lalu, suara terompet berbunyi, itu tandanya tahun baru telah dimulai. Mungkin orang-orang telah membuat planning baru di tahun 2015 sekarang, tapi aku..entahlah..banyak hal yang membuatku pesimis karena tahun 2014 kemarin. Banyak hal yang mengecewakan, banyak hal yang membuatku menangis dan menyesali hidup. Luka-luka itu masih membekas. Luka-luka yang sebenarnya kuciptakan sendiri.

Tuhan, apa yang akan kulakukan di tahun 2015 nanti? Sepertinya aku sudah tak punya mimpi, tak punya harapan, tak punya sesuatu yang kunanti..